Wednesday, May 11, 2011

Cita dan Cinta

Terik matahari menyengat bagai duri, mulai menghilang ditelan bumi. anginpun masih enggan bertiup menghampiri. Awan hitam mulai unjuk gigi. Ahh…Semakin hari masalah hidup ini semakin sulit saja untuk aku jalani, aku berkeluh kesah di bibir mungilku yang masih kering karena kehausan dan lapar. Akupun mengambil dompet dari saku rokku dan meliriknya. Ternyata hanya ada uang tiga ribu rupiah. Aku berpikir, “masa’ cukup uang segini untuk beli makan dan minum di kantin sekolah?”. Eh.. tiba – tiba datang seseorang mengagetkan aku. “dooooor”

“aku kaget an” kataku sambil berdiri dengan tanpa melepas mata yang tajam di sisi jendela kelas dan melihat luas ke arah langit yang membiru seraya tenggelam dengan lamunan yang tak menentu.

“hayo...., lagi mikiran siapa tow? Pasti mikiran si doinya nich!” tegur anne, sahabat baikku.

“ah, kamu an! Bisa- bisa aja. Emangnya ada apa! cowok yang mau sama aku!”begitu kataku, sambil berlalu menuju tempat duduk didalam kelas. Anne datang dan duduk disampingku, lalu berkata “ kamu jangan merendah gitu dong Nur!, Teman – teman disekolah juga banyak yang mengagumimu karena keseriusanmu di bidang akademik, tak heran jika sejak tahun pertama kamu sudah mandapatkan beasiswa sampai tahun ketiga ini, bapak ibu guru juga pada kagum sama prestasimu. Betul nggak tuh?, lagian wajahmu juga tidak jelek- jelek amat kie. Hahaha”.

“Kamu ini an, bisa saja menghibur hatiku, tapi aku kan orang miskin an!”

“menilai orang tu bukan dari hartanya nur!, tapi dari ini sama ini” kata anne sambil menunjuk arah hati dan otaknya.

Dengan nada candanya, Anne selalu menghibur hatiku. “ayo Nur, ikut aku ke kantin.”

”nggak ah! Aku mau di kelas saja, mau baca buku.”

“ayolah!, aku yang traktir. Lagian baca buku juga bisa nanti toh?”

“yawdah deh, aku ikut ke kantin. Tapi bener di traktir lho ya?”kataku. Kantin sekolah kami berada di pojok kiri bersebelahan dengan perpustakaan sekolah.

Di dalam riuh kantin Mbok Nah dengan suara lantang anak sekolah yang serba kelaparan, tidak membuat suasana hatiku berubah, bahwa aku anak orang miskin. Mataku yang tajam membuat Anne merasa kebingungan dan tidak bisa berbuat apa-apa.“Sorry?” Cuma itu yang bisa diucapkan Anne. Namun aku tetap membisu sambil mengunyah mie ayam kesukaanku. Beberapa menit berlalu tanpa ada jawaban yang jelas dariku, sehinga membuat Anne seperti orang yang belum kenal sama sekali denganku.

“ mbak Nur, belajar nanti sore jadi kan?” suara seorang cowok menyambar telingaku.

“ya, insyaAllah jadi. Jam 15.30 yach!, mari makan?”

“iya mbak, temen- temen juga sudah tidak sabar menunggu belajar bareng sama mbak Nur” sahutnya. Aku memberanikan diri untuk tanya.

“ oiya nama mas siapa? Kelas pa?”. Ia menjawab dengan suara tegasnya

”namaku Musthofa al Zubaidi, biasanya teman – teman memanggilku mus. Aku kelas XIIb mbak”.

“oiya mas mus, tolong sampaikan ke temen- temen, jangan sampai telat yach!” sahutku.

“ciiip mbak,aq balik ke kelas dulu ya mbak nur?”

“iya, sampai bertemu lagi nanti sore!”

“ oke mbak”

Tak terasa lamunanku tersadar ketika anne menepuk pundakku. “hayou, makan ko’ ngelamun. Belum habis tuch!” kata Anne sambil menatap wajahku.

“Musthofa itu cowok yang cakep yach!,udah manis, sopan, berwibawa, santun lagi” tanpa sadar aku berkata seperti itu.

“lho ketahuan!”

“apaan” sahutku.

“kamu suka musthafa ya Nur?”

“nggak tahu lah An, aku ngaca, tahu diri gitu!he7”

“tidak apa- apa ko’ Nur, hal seperti itu wajar ko’. Tuhan menciptakan manusia kan memang untuk berpasang- pasangan. Laki- laki dan perempuan. Yang penting bisa jaga diri, jangan sampai terjerumus sama setan” kata Anne menasehatiku.

”makasih banyak ya An”

“oiya Nur, kamu ko’ ngajar teman seangkatan?”

” Iya, tapi bukan ngajar, melainkan belajar bareng aja. Pak. Prayit selaku Wakasek meminta saya untuk membimbing teman - teman dalam hal belajar diluar jam pelajaran, katanya biar ada persiapan buat UAN nanti. Lagian punya ilmu kan harus diamalkan bukan?, ditambah lagi untuk pengabdianku pada sekolah ini karena aku dapat beasiswa ” jawabku.

“wah, makin keren saja, sahabatku yang satu ini!he7”,ujar anne

Bel sekolah berbunyi, saatnya anak sekolah harus memulai menuntut ilmu dari guru. Detik, menit kian berlalu mengheningkan para murid yang menuntut ilmu, terkadang adanya persoalan bahkan jawaban yang dilontarkan dari mulut ke mulut membuat keheningan berubah menjadi gemuruh yang menandakan tingginya semangat belajar para siswa dikelasku. “Ting....tong....ting... tung ....kreek ...kreek ....rek” itu bukan bunyi gendang atau penjual es tingtong, tapi itulah bunyi bel sekolah yang kehabisan baterai yang menandakan jam sekolah pulang. Seruan kegirangan anak sekolah menuju rumahnya masing-masing. Terlihat di depan pagar sekolah seorang perempuan lugu menunduk lemas seperti kehilangan sesuatu yang berharga.

“Baaa....ada yang jatuh mbak, atau lagi nungguin taksi ya?” kataku kepada Anne, sahabat karibku itu. Maklumlah, ia dari keluarga yang mampu.

“itu taksinya sudah datang, aku pulang dulu ya?, atau kamu mau ikut aku sekalian?”

“Gak apa-apa deh”,jawabku. Rumahku dan rumah anne berjauhan, tapi searah. jarak sekolah dengan rumah anne jauh, dan ia sering di antar jemput atau naik taksi. Sedangkan rumahku tidak jauh dari sekolah.

Selang beberapa minggu tibalah minggu tenang yang bisa digunakan para siswa untuk menghadapi ujian nasional. Hari semacam ini adalah kesempatan siswa kelas III untuk libur sekolah dan belajar di rumahnya masing-masing.

“Assalamualaikum....ada anak cakep datang nich, apa ada Iqmi nurwahidah Ellisayanti si jelek di rumah?” tiba-tiba suara itu muncul di depan rumahku.

“Wa’alaikumsalam. Siapa sih Nur? Coba sana lihat,” suruh Ibuku yang sedang duduk di kursi teras belakang rumah. Biasa Bu, siapa lagi kalau bukan si Anne. Baiklah Bu, Nur pamit ke depan dulu.

Aku pun meninggalkan Ibu dan menuju ke ruangan depan dengan berjalan perlahan-lahan dan terinjit-injit menghampiri pintu.

”Ayoo....Anne Haryanti, si orang jelek datang bakalan rubuh rumahku!” Aku bercanda sambil membuka pintu rumahku. akupun mempersilakan sahabatku itu masuk dan membawanya ke kamar. Memang, keakraban kami seperti tak terpisahkan lagi. Karena kami sejak sekolah dasar sudah bersama, malahan tanggal kelahiran kamipun sama, cuma bulan dan tempat saja yang berbeda. aku sudah menganggap keluarga anne seperti keluarga sendiri, begitu juga sebaliknya.

“Nur, nggak sadar ya, kalo kita sudah mo ujian, kalau mikir hasil ujian nanti, jantung gue dek-dekan,” kata Anne saat berbaring di kasur milikku sambil memeluk guling kesukaanku.

“Makanya jangan dipikirkan terus, yang penting belajar yang benar dan usahakan semampunya agar bisa menjawab dengan tepat. Semua orang kalau berpikir pasti begitulah hasilnya”.

“Kamu serius amat sih Nur, sedangkan amat aja nggak nyeriusin kuk,” canda Anne sambil cekikikan tertawa. Anne memang sudah wataknya begitu, sukanya sudah serius ngomong, ujung-ujungnya ngawur membuatku menarik napas panjang-panjang.

“Waduh,” kataku

“Lo...kok ngeluh. Emangnya ada apaan nih Nur? Dari kemarin kamu kayak orang yang tak punya semangat aja.”

“Haaa....haaa.....haaa” aku tertawa sejadi-jadinya, sehingga meneteskan air mata di pipi merahku, sehingga membuat sahabatku itu keheranan.

“Lebih baik aku pulang aja dari pada ngobrol sama orang yang sakit jiwa begini,” kata anne sambil meninggalkanku sendiri.

Aku tertawa begitu, karena melihat celana yang dipakai Anne saat itu terbalik, malahan yang lucunya lagi dia menggunakan celana yang sobek dibagian mata kakinya. Mungkin kalau Anne tahu dia bisa malu sendiri, aku berkata dalam hati.

Ujian sekolahpun sudah aku jalani dengan mendapatkan hasil yang bagus. Namun bukan kegembiraan yang aku tunjukkan, tapi malah sedih. Kenapa tidak, yang aku pikirkan hanya ada bayangan Ibu tercintaku. Hampir dua tahun ibuku mengidap penyakit yang sangat serius. Dan kata dokter pun ibuku tidak bisa diobati lagi, melainkan hanya bisa pasrah kepada Yang Maha Kuasa saja. Ayahku sudah lama meninggal dunia semenjak aku di bangku Sekolah Dasar kelas 6. Semua biaya keperluan rumah selama ini, ibulah yang menanggung dengan hasil menerima upah menjahit pakaian. Tugasku hanyalah menuntut ilmu. tapi setelah menamatkan sekolah ini aku bingung, apakah aku melanjutkan lagi ke perguruan tinggi atau hanya sampai di sini saja dan membantu ibu untuk mencari nafkah hidup.

“Ibu, bagaimana kalau aku tidak melanjutkan ke perguruan tinggi lagi?” kataku pada ibu.

“Loh .. kenapa harus begitu?” jawab Ibuku. Ibu kaget mendengar pernyataanku.

“Bukan begitu Ibu, aku sudah menamatkan SMA, aku rasa itu udah cukup pengalaman buat aku untuk mengetahui jalan hidup dan pedoman untuk menuju kebaikan. Selain itu, aku nggak sanggup melihat Ibu harus bersusah payah sendiri untuk membiayai kehidupan kita yang cukup besar. Kalau aku nggak melanjutkannya tentu aku bisa membantu Ibu.”sahutku Sesaat, Ibu hanya terdiam mendengar ucapanku.

“tidak, Ibu rasa apa yang kamu pikirkan adalah salah. Ibu berkeinginan kamu bisa menjadi orang yang sukses. bukan seperti Ibu sekarang ini, meskipun Ayahmu tidak lagi bersama kita, tapi bagi Ibu hanya kamu yang bisa buat semangat hidup Ibu sampai sekarang. Bagaimanapun juga, Ibu ingin sekali melihat anak ibu menjadi orang yang sukses. Seandainya Ibu tidak sempat melihat kamu sukses, namun di alam baka sana Ibu bisa tenang nantinya,” nasehat ibu dengan linangan air mata.

“Bu.... ...tidak seharusnya Bunda berkata sedemikian. aku sayang ibu. Dengan keadaan ibu yang sedemikianlah aku tidak mau melihat ibu terlalu capek untuk semua ini, dan sudah saatnya Ibu harus istirahat.tapi, kalau ini keinginan ibu, aku berjanji akan berusaha semampuku. Karena hanya kebahagian ibulah yang saya inginkan.”

*****

Ketika aku sudah duduk di bangku perkuliahan, semua berjalan seiring waktu. “An, gimana dengan tugasnya, apa sudah disiapkan?” tanyaku pada Anne.

“sudah nona manis”

Aku dan Anne adalah sahabat yang tak terpisahkan. Sebab di mana aku sekolah bahkan bermain, anne pasti ada. Kekompakan kami membuat ibu merasa bahagia.

Tidak tahu kenapa hari ini hatiku risau, dan kuputuskan pulang kerumah lebih awal. Dan sesampainya dihalaman rumah,“Ibuuu...” aku menjerit sambil menuju ibu yang terkapar di lantai dengan mengaduh kesakitan.

“Ada apaan sih Nur?” rasa kaget Anne mendengar aku menjerit dengan wajah menegangkan.

“Ibu kenapa?, kita ke dokter ya buu.. maafkan Nur buu? Karena tidak ada disamping ibu, sehingga ibu harus tersiksa seperti ini.”kataku sambil mengusap linangan air mata.

Kamipun terburu-buru membawa ibu ke rumah sakit. Sudah hampir 5 jam ibu tidak sadarkan diri, sehingga isakan tangisku tak ada henti-hentinya.

“Sudahlah Nur, kita berdoa saja agar semuanya baik-baik saja,” kata Anne.

“Dokter, gimana dengan kesehatan Ibu?”

Dokter hanya bisa menarik napas panjang. “Kamu yang sabar ya, semua itu Allah yang berkehendak. Saya sudah berusaha sekuat tenaga. Dengan waktu yang singkat ini pergunakanlah waktumu untuk orang tuamu,” hanya itu yang bisa diucapkan dokter kepadaku. Aku segera menuju kamar dimana ibu dirawat.

“Bu, ibu, ini Nur bu, Alhamdulilllah...... semua baik-baik saja, syukurlah ibu sudah sadar” Kegembiraan di raut wajahku membuat Anne yang baru saja mengurus administrasinya datang untuk melihat kami.

Sudah sekian lama ibu tidak sadarkan diri. Baru saja ibu sadar, tapi hanyalah untuk sesaat saja dan akhirnya menghembuskan napas terakhir. Aku hanya terdiam dan kali ini tidak mengeluarkan isak tangis yang kuat buat ibuku, tetapi hanya senyuman dengan air mata yang berlinang di antara kelopaknya. Akupun memeluk Anne yang saat itu berdiri di sampingku. Aku sadar ibu akan pergi jauh, meskipun tidak tau itu entah kapan waktunya, sebelum aku siap dengan apa yang akan terjadi nanti. Dalam hati kecilku, aku senang karena di detik terakhir, ibuku tersenyum dan memanggil nama Allah.

“kring…kring….kring”,Telephon rumah berdering yang menyadarkanku dari lamunan panjangku.

“halo,assalamu’alaikum”

“wa’alaikum salam wr wb…Prof. Mustofa al Zubaidi nya ada bu?”

“Bapak lagi penelitian di Texas,3 bulan lagi baru pulang. Maaf,ini dengan bapak siapa ya?”

“ ini Nanang Prayogi bu, Apa ini dengan Ibu DR. Iqmi nur Wahidah Ellisayanti?”

“iya benar, ini mas nanang teman kuliah S2 bapak di Autralia?”

“yaa, benar bu…bagaimana kabar keluarga?semoga dalam kasih sayangNYA…oiya, saya sekarang di Jogja selama 1 minggu, Jika sempat, saya akan mampir kerumahnya ibu”

“Alhamdulillah, kami semua sehat. Silahkan kalau mas Nanang mau mampir, Nanti aq menghubbungi bapak dulu..”

“kalu begitu sudah dulu ya buu, wassalamu’alaikum”

“inggeh,wa’alaikum salam wr wb”

Tidak sadar hampir 15 tahun kepergian ibuku dan kini aku sudah menyelesaikan kuliah dengan gelar Dokor dari Sarjana Kedokteran. Kebahagianku terasa lengkap di disaat orang yang aku kagumi ketika SMA kini menjadi suamiku. Yaa, Musthofa al Zubaidi, ayah dari anak – anakku. Seorang professor dari sebuah perguruan tinggi ternama di Jogjakarta. Aku masih ingat ketika pertama kalinya bertemu dia diruang guru dan berlanjut ketika bimbingan belajar. Tapi aku tidak berani ngomong karena ketidak percayaan diriku dan kondisi keluargaku pada saat itu, apalagi aku wanita. Tapi semua jodoh Tuhan yang mengatur. Dia mempertemukan kami lagi pada saat kami semester akhir S1. Dan kamipun menikah dua tahun kemudian.

Dulu, pada waktu aku kuliah di jurusan kedokteran masih belum bisa menjaga dan mengobati penyakit ibuku. Tetapi aku yakin, suatu saat nanti aku bisa menolong orang lain dengan kemampuanku. Ibu, lihatlah kini aku sudah mewujudkan impian ibu, meski aku tidak tahu ibu bagaimana sekarang, tapi saya yakin ibu pasti bahagia melihat kesuksesan Nur. Meskipun Ayah dan ibu jauh di sana, tapi aku merasakan kalian selalu ada di hatiku. Semua impian yang aku lakukan ini hanyalah untuk kalian, semoga kalian tenang di alam sana...

******

Sobat, bahagiakanlah kedua orang tuamu selagi sempat

Karena waktu tak mengenal suatu diri dan tempat

*****

AYAH - BUNDA, I MISS YOU….

>>> by : Rachmat Efendi<<<

Sumber : Renungan N Kisah inspiratif

No comments:

Post a Comment