Annyeonghaseyo Chingudeul...
Chongmal Mianhae, dewi baru nyelesain sinopsis The way home bagian ke dua...
Sebenarnya udah lama dewi pengen ngepost, tetapi karena laptop dewi bermasalah dan harus diinstal ulang, terpaksa semua data di file dewi ikut terhapus termasuk sinopsis The way Home ini..... dan filenya nggak bisa diselamatkan karena hardisk dewi udah rusak terlalu parah dan harus lembiru (lemparbelibaru).
Chongmal Mianhae, dewi baru nyelesain sinopsis The way home bagian ke dua...
Sebenarnya udah lama dewi pengen ngepost, tetapi karena laptop dewi bermasalah dan harus diinstal ulang, terpaksa semua data di file dewi ikut terhapus termasuk sinopsis The way Home ini..... dan filenya nggak bisa diselamatkan karena hardisk dewi udah rusak terlalu parah dan harus lembiru (lemparbelibaru).
Happy reading Chingu....
Sang woo dan Nenek akhirnya sampai di pasar. Sang woo membantu mengangkat keranjang nenek. Namun tiba-tiba menjatuhkannya ketika melihat Hae Yeon berada tidak jauh darinya. Sang woo mencoba mendekati Hae yeon namun Hae yeon malah berjalan pergi seakan-akan tidak melihat Sang woo.
Nenek mulai duduk di salah satu sudut pasar dan mulai menjajakan hasil kebunnya yaitu Labu dan Sabuk kelapa. Sang woo dari kejauhan melihat Neneknya dan tiba-tiba muncul rasa iba dari dalam hatinya.
Nenek kemudian menyuruh Sang woo memilih salah satu sepatu yang Sang woo suka. Sang woo hanya terdiam ketika penjual mulai berkomentar tentang sepatu baru yang sekarang sedang Sang woo pakai. “sepatu ini sangat cocok denganmu”.
Nenek kemudian mengajak Sang woo makan Jajangmyeon (mie hitam). Sang woo mulai makan dengan lahap dan tiba-tiba berhenti dan melihat ke arah Neneknya. Sang woo merasa kasihan dengan Nenek yang hanya minum segelas air putih sementara dirinya malah asyik makan Jajangmyeon. Nenek mengerti dengan arti tatapan Sang woo dan meyuruh Sang woo untuk kembali makan dengan lambaian tangannya.
“2.300 Won” ucap pemilik tempat makan pada Nenek. Nenek mengeluarkan uang hasil penjualan labu dan sabuk kelapa dan mulai menghitungnya. Sang woo kembali merasa iba dengan Nenek ketika melihat sisa uang nenek yang hanya recehan.
Sang woo dan Nenek berjalan menuju tempat pangkalan Bus. Mereka tanpa sengaja melewati sebuah toko elektronik dan kebetulan toko tersebut menjual segala jenis baterei. Sang woo berhenti sesaat dan memandangi tulisan yang tertera di jendela “semua jenis baterei tersedia disini”. Nenek pun ikut berhenti dan memandangi Sang woo. Sang woo menggeleng dan kembali berjalan.
Nenek mulai mengecek Bus yang akan dinaikinya bersama Sang woo kembali ke desa. “kenapa kau turun?apakah Busnya salah?” tanya Sang woo pada Neneknya. Nenek mulai mengecek Bus ke dua dan kembali turun dari Bus tersebut “yang ini salah juga?” tanya Sang woo lagi, Nenek mengangguk. Nenek mengecek Bus ketiga dan kondektur mengatakan kalau ini adalah Bus yang benar. Nenek kemudian memanggil Sang woo untuk naik.
“tunggu, perempuan tua di seberang jalan bertanya tentangmu. Lututnya terluka, makanya dia tidak bisa menemuimu, kenapa kau tidak melihatnya?” ucap Kondektur pada Nenek sebelum duduk. Nenek mengurungkan niatnya untuk duduk dan ingin menemui sahabatnya.
Nenek kemudian memanggil Sang woo namun Sang woo sama sekali tidak memperdulikan Nenek “aku katakan tidak, tinggalkan aku sendiri” tolak Sang woo. Rupanya Sang woo sedang asyik melihat Hae yeon yang sedang mengobrol dengan temannya.
Wajah Sang woo langsung cemberut begitu Hae yeon pergi. Sang woo kemudian melihat ke arah Nenek yang masih berdiri disampingnya. “hei bocah, Nenek bertanya apa yang ingin kau makan?” tanya Kondektur pada Sang woo (wah, hebat Kondekturnya bisa mengerti apa yang Nenek ingin katakan pada Sang woo). Sang woo melihat seorang anak kecil yang sedang asyik makan Pie coklat. “Pie coklat” jawab Sang woo pada Nenek dan menunjuk anak tersebut.
Nenek memungut bungkus coklat Pie yang tergeletak di lantai Bus dan bergegas menuju rumah sahabatnya yang kebetulan berjualan bahan-bahan kelontongan.
“hai, silahkan duduk. Aku seharian seorang diri. Lututku?seperti biasa. Aku dengar cucu laki-lakimu datang kesini, kau seharusnya membawanya kesini” ucap sahabat Nenek. Nenek kemudian memberikan bungkus coklat Pie kepada sahabatnya “Pie coklat?dua? aku akan memberimu lebih” ucap sahabatnya. Nenek hendak memberikan uang kepada sahabatnya namun sahabatnya menolak uang pemberian Nenek. Nenek akhirnya memberikan sabuk kelapa miliknya yang masih tersisa sebagai ucapan terima kasih.
Sementara itu di Bus, muka Sang woo kembali cemberut. Bukan karena ingin makan Pie coklat tetapi karena Cheol yee (mungkin menurut Sang woo, Cheol yee adalah saingannya) duduk disampingnya dan menghalanginya untuk berbicara dengan Hae yeon.
Sang woo melihat Nenek datang dan hendak naik ke Bus. Sang woo dengan cepat berlari menuju pintu Bus dan mengatakan kepada Neneknya kalau dia ingin duduk bersama Cheol yee dan Nenek duduk sendirian. Sang woo kemudian mengambil Pie coklat dari tangan Nenek dan kembali duduk di kursinya.
Nenek mengetuk jendela Bus dan meminta kepada Cheol yee untuk menjaga Sang woo hingga sampai di desa. “aku mengerti Nek” jawab Cheol yee. Nenek kemudian memberikan barang bawaannya kepada Sang woo melalui jendela Bus agar Sang woo membawanya, namun Sang woo menolak. Bus perlahan-lahan mulai berjalan dan meninggalkan Nenek sendirian. (hiks,hiks,hiks….. Sang woo dirimu tega sekali).
“Nenek Sang woo tidak ikut naik?” tanya Hae yeon pada Cheol yee “dia bilang dia akan pulang nanti, dia punya pekerjaan untuk dilakukan” jawab Cheol yee “kau bisa mendengarnya?” tanya Hae yeon lagi “tidak, aku hanya tahu saja” jawab Cheol yee. Sementara itu Sang woo yang duduk disamping mereka mulai menggeruru sendirian dan memutuskan untuk menghitung jumlah Pie coklat yang dibelikan Neneknya.
Sang woo duduk sendirian menunggu Nenek di perhentian Bus. Sang woo melihat sebuah Bus mulai mendekat. Sang woo dengan cepat berdiri dan mengira jika Nenek sudah datang. Harapannya sia-sia saat melihat yang turun dari Bus bukan Nenek melainkan warga desa lain dengan seorang anak kecil. Sang woo memutuskan pulang ke rumah dan mulai bermain batu, gunting, kertas.
Sang woo merasa bosan tanpa kehadiran Nenek. Sang woo tersenyum dan mengeluarkan satu-satunya coklat Pie yang tersisa dari dalam kantongnya “aku akan menyimpannya besok” gumam Sang woo. Rasa bosan kembali menghinggapinya. Bosan di rumah, Sang woo memutuskan kembali ke tempat pemberhentian Bus dan menunggu Nenek.
Senyum Sang woo terkembang saat melihat sebuah Bus kembali mendekat. Pintu Bus terbuka, namun yang turun adalah seorang kakek tua dan sama sekali tidak ada Nenek Sang woo. Sang woo merasa sedih.
Bus perlahan-lahan mulai memutar balik dan menuju kembali ke Kota. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang wanita tua yang berjalan perlahan-lahan dengan menggunakan tongkat. Sang woo dengan cepat berlari ke arahnya dan wanita tua tersebut tak lain adalah Nenek.
“apa yang membuatmu begitu lama?” tanya Sang woo sedih.
Nenek hanya mengusap dadanya. Sang woo merasa bersalah pada Nenek dan mengambil barang bawaan Nenek. Sang woo kemudian berjalan menuju rumah dan Nenek mengikuti Sang woo dibelakang.
Sang woo tersenyum dan berhenti sesaat. Muncul ide dari pikiran Sang woo. Sang woo mengeluarkan satu-satunya Pie coklat yang dia miliki dan menyelipkannya ke dalam kain barang bawaan Nenek.
Sang woo berjalan mondar mandir dengan Robot mainan di tangannya. Sang woo melihat permainan masak-masakan Hae yeon yang pernah dirusaknya dan mulai menggeser batu-batu yang berantakan dengan kakinya. Sang woo samar-samar mendengar suara Hae yeon yang sedang bernyanyi. Sang woo tersenyum senang karena akhirnya keinginannya untuk melihat Hye yeon tercapai. Namun senyum yang terkembang di wajah Sang woo memudar saat melihat Cheol yee yang ternyata berjalan bersama Hae yeon.
“dah, Cheol yee” ucap Hae yeon berpamitan. Cheol yee melanjutkan kembali berjalan menaiki bukit dengan setumpuk kayu bakar di punggungnya. Sang woo yang melihatnya merasa kesal, tiba-tiba sebuah ide brilliant melintas di benaknya. Sang woo meletakkan robot mainannya di tanah dan tersenyum licik.
“lari cepat, Sapi gila datang, palli, palli. Cepat, dia mulai menuruni bukit, aku serius” teriak Sang woo dan melompat kegirangan. Sang woo tertawa senang melihat Cheol yee berlarian. Sang woo berhasil membohongi Cheol yee dengan mengatakan kalau seekor sapi gila menuju ke arahnya.
“itu Sapi gila” gumam Sang woo sedih saat mendengar suara Sapi gila. “benar-benar mengejarnya” tambah Sang woo. Usahanya untuk mengerjai Sang woo berantakan. Dari kejauhan, Cheol yee melambaikan tangan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang woo karena sudah memberitahukannya akan kehadiran Sapi gila.
Sang woo melihat robotnya yang tergeletak di tanah dan hal itu membuatnya semakin sedih. Robot mainan sang woo rusak karena terinjak olehnya saat melompat kegirangan.
Malam harinya
Angin bertiup sangat kencang. Sang woo berteriak memanggil Neneknya agar berjalan lebih cepat. “Palli, palli, aku katakan cepat!”. Sang woo kemudian masuk ke sebuah tempat sambil memegang celananya. Sang woo bernafas lega saat semua makanan yang sudah diolah menjadi feces berhasil keluar dengan aman tanpa mengotori celananya.
“apa kau masih disana?” teriak Sang woo dari dalam kamar mandi yang terbuat dari kayu “dimana kau?” tanya Sang woo lagi “aku katakan kau dimana?” tanya Sang woo untuk ketiga kalinya. Nenek melempar beberapa batu agar Sang woo tahu kalau dirinya masih menunggu Sang woo yang sedang BAB. “kau dimana?aku tidak melihatmu” teriak Sang woo. Nenek maju hingga ke depan kamar mandi agar Sang woo bisa melihatnya dan tidak merasa takut. “maju sedikit lagi” ucap Sang woo “yeah, tetap disana” tambah Sang woo. Nenek mengangguk. Angin bertiup semakin kencang dan mulai menghembuskan dirinya ke tubuh renta Nenek. Nenek hanya terduduk dan tidak berniat beranjak sedikitpun demi menunggui sang woo, satu-satunya cucu yang dimilikinya.
Keesokan harinya
Cheol yee berjalan terseok-seok dengan tumpukan kayu di punggungnya. Dari kejauhan, Sang woo yang sedang duduk melamun tersadar saat melihat Cheol yee. Sang woo melihat ke bukit, jalan yang sudah dilalui Cheol yee dan tersenyum ketika memastikan kalau Sapi gila tidak ada.
“Sapi gila datang!Lari! Lari lebih cepat, cepat” teriak Sang woo. Cheol yee sontak terkejut dan mulai berlari. “lebih cepat lagi, sapi gila itu berada dibelakangmu”. Cheol yee berlari semakin cepat hingga terjatuh. Cheol yee berbalik kebelakang dan menyadari kalau Sapi gila sama sekali tidak ada dan Sang woo telah membohonginya. Sang woo yang menyadari kalau kebohongannya sudah diketahui Cheol yee dengan cepat berlari tanpa rasa bersalah sama sekali.
Sang woo berjalan tanpa arah dan tiba-tiba berhenti saat melihat Cheol yee yang berdiri di hadapannya. Sang woo tertunduk lesu dan merasa takut kalau Cheol yee akan memarahinya.
Sementara itu anjing kesayangan Cheol yee terus menerus menggonggong ke arah Sang woo. Sang woo mengusap dadanya seperti yang biasa dilakukan Neneknya dan kemudian berlari.
Sang woo mulai ngos-ngosan karena sudah berlari terlalu jauh. Tiba-tiba seseorang memanggil nama sang woo. “Sang woo-ah, Sang woo-ah” panggil Hae yeon “Sang woo, aku mencarimu kemana-mana, aku sudah bertanya pada Cheol yee dan bahkan datang ke rumahmu. Aku ingin mengajakmu bermain” tambah Hae yeon.
Malam harinya Sang woo senyum-senyum sendiri. Dirinya bahkan menutup wajahnya dengan selimut karena merasa senang dan malu bisa bermain berdua saja dengan Hae yeon. (hehehe, Sang woo, ada-ada aja dech tingkahnya,…. Dewi cendrillon).
Keesokan harinya, Sang woo bersiul-siul senang. Sang woo mulai memasukkan satu persatu mainannya ke dalam kantong plastik. Tangannya terhenti saat menggenggam kartu bergambar kesayangannya.
Pandangannya kemudian beralih ke robot mainannya yang sudah penuh tambalan. Sang woo kemudian menyelipkan kartu bergambarnya dibawah kaki dan kembali bersiul sambil memasukkan mainan yang lainnya. (hehehe, sesuka-sukanya Sang woo pada Hae yeon, dia tidak ingin memberikan mainan robot dan kartu bergambarnya pada Hae yeon).
Sang woo kemudian bercermin dan merasa kalau rambutnya sudah terlalu panjang. Sang woo bingung ingin membuat model seperti apa rambutnya. Bahkan dengan menggunakan air untuk mengaturnya pun, Sang woo merasa aneh. “tidak adakah minyak rambut?” tanya Sang woo pada Nenek.
Sang woo tertawa senang melihat pantulan sinar matahari dari kaca mengenai wajah Neneknya. Sang woo bersiul riang saat Nenek memakaikan kain yang biasanya digunakan untuk membungkus barang bawaan atau hasil kebun ke tubuhnya. Sang woo kemudian mengatakan kepada Nenek untuk memotong rambutnya sedikit saja.
Nenek membangunkan Sang woo yang tertidur (wah, saking asiknya rambutnya dipotong, Sang woo sampai tertidur). “sudah selesai?” tanya Sang woo. “apa ini?ini mengerikan!” rengek sang woo.
Nenek memperagakan apa yang dikatakan Sang woo tadi “aku sudah mengatakan agar memotongnya sedikit saja, bukan seperti ini. Aku tidak bisa bertemu dengan Hae yeon seperti ini” tambah Sang woo dan kemudian pergi. (hehehe, ketawa liat adegan ini. Sang woo mengatakan kepada Nenek untuk memotongnya sedikit saja, tetapi Nenek memotongnya hingga tersisa sedikit).
Sang woo dengan wajah cemberutnya mulai mengecek mainan yang akan diberikannya kepada Hae yeon. Nenek kemudian memberikan game Sang woo “batereinya habis” tolak Sang woo. Nenek kemudian membungkus game Sang woo dengan kertas kado. “bodoh” gumam Sang woo yang merasa tindakan Neneknya tidak masuk akal.
Sang woo melihat dirinya di cermin dengan rambut hasil guntingan Neneknya yang salah. Sang woo kemudian melipat kain Neneknya dan memakainya di kepala sebagai penutup.
Nenek membangunkan Sang woo yang sedang tertidur. Nenek hendak mengajak Sang woo ke rumah sahabatnya yang tinggal tidak jauh dari rumah Nenek dan sahabat Nenek ini, dulu pernah menolong dan mengantarkan Sang woo saat dirinya tersesat. “Hae yeon akan datang” tolak Sang woo dan kembali tidur. Sang woo tiba-tiba terbangun saat menyadari kain Neneknya yang semula berada di kepalanya, dipakai Nenek untuk membungkus sesuatu. Mau tidak mau sang woo terpaksa ikut dengan Nenek daripada harus bertemu dengan Hae yeon dengan wajah seperti itu.
“kau tidak perlu datang” ucap Kakek. Nenek kemudian memperkenalkan Sang woo. “aku pernah melihatnya sebelumnya. Aku baik-baik saja, aku sudah cukup tua untuk mati. Aku hanya membuat orang-orang disekitarku menderita” ucap Kakek kemudian terbatuk-batuk. Nenek kemudian membuka bungkusan yang sedaritadi dibawanya. “apa itu?” tanya Kakek. Nenek memegang seluruh tubuhnya “itu vitamin untuk orang lanjut usia” ucap Sang woo berusaha menjelaskan maksud Neneknya “aku tidak memerlukannya, kau lebih membutuhkannya daripada aku” tolak Kakek. Nenek kemudian memperagakan sesuatu lagi dan Sang woo sekali lagi membantu menjelaskan “kami tidak memiliki sesuatu di rumah, hanya ini yang bisa kuberikan untukmu”. (Nenek baik banget ya, vitamin yang diberikan Ibu Sang woo untuk Nenek malah diberikan kepada Sahabatnya).
Sang woo bersiap-siap pergi menemui Hae Yeon. Di kepalanya sudah terpasang kain Neneknya (hehehe, Sang woo mengikatnya seperti seorang pendekar saja). Nenek datang dan menyuruh Sang woo untuk memakai sepatu barunya, namun Sang woo menolaknya dan mengatakan kalau sepatu itu jelek. Sang woo merasa nyaman memakai sepatu lamanya.
Sang woo berhenti sesaat dan kemudian menyeka keringatnya. Sang woo tiba-tiba terkejut ketika melihat gamenya yang sudah terbungkus kado diselipkan Neneknya di dalam kantong plastik. “kenapa dia menaruhnya disini?” gumam Sang woo dan memasukkan game tersebut ke kantong celananya.
Sang woo tersenyum senang dengan Boneka Hae yeon yang sekarang berada di genggamannya. Ternyata semua mainan Sang woo ditukar dengan sebuah Boneka milik Hae yeon. Sang woo kemudian melepaskan sepatunya dan mulai mengangin-anginkan kakinya yang kepanasan karena terlalu lama berjalan.
Sang woo tersenyum melihat jalanan menurun di depannya. Muncul sebuah ide hebat di benaknya. Dengan menggunakan kereta besinya Sang woo mulai meluncur. Namun naas, Sang woo tidak dapat menghentikan kereta besinya. Alhasil, Sang woo terluka, kereta besinya jatuh ke dalam air dan salah satu sepatu Sang woo terbang entah kemana.
Sang woo mulai berjalan terseok-seok. Seluruh badannya terasa sakit. Samar-samar Sang woo mendengar suara orang yang berteriak kepadanya menyuruhnya untuk segera berlari. “lari!lihatlah! ada sapi gila”. Suara itu berasal dari Cheol yee yang mencoba memperingatkannya akan kehadiran sapi gila. Sang woo berbalik kebelakang dan tidak melihat apa-apa. Sang woo merasa kalau Cheol yee sengaja mengatakan seperti itu karena sakit hati pernah dibohongi Sang woo. “larilah cepat, dia dibelakangmu” teriak Cheol yee lagi namun Sang woo tidak menggubrisnya.
Sang woo kembali berjalan dan terkejut saat melihat seekor sapi gila benar-benar menuju ke arahnya. Sang woo mempercepat langkahnya dan berusaha untuk berlari. Sayang, salah satu sepatu Sang woo tiba-tiba terlepas dan Sang woo seketika terjatuh. Sang woo merunduk dan menutupi kepalanya saking ketakutan. Tiba-tiba Cheol yee muncul dan mencoba menghalau sapi gila “cepatlah bersembunyi” teriak Cheol yee.
Cheol yee berhasil mengusir sapi tersebut dan buru-buru melihat keadaan Sang woo. Sang woo terduduk di tanah dengan ke dua lutut yang terus mengeluarkan darah. “maafkan aku sebelumnya” ucap Sang woo sedih. Cheol yee tersenyum “lalu kau harus minta maaf dua kali”. Cheol yee kemudian pergi dan Sang woo hanya bisa menangis menyesali semua kesalahannya.
Sang woo kembali ke rumah. Di perjalanan Sang woo berhenti sesaat dan menyadari gamenya yang terbungkus kertas kado masih belum dibukanya. Sang woo terkejut saat mendapati beberapa lembar uang kertas yang diselipkan Neneknya bersamaan dengan gamenya. Sang woo kembali menangis dan menyadari kalau sudah banyak hal jahat yang dilakukannya kepada Nenek yang sangat menyayanginya.
Sang woo berjalan kembali dan dari kejauhan terlihat Nenek sudah berdiri menunggunya. Tangis Sang woo semakin keras. Sang woo mempercepat langkahnya begitupun dengan Nenek yang berjalan menuju Sang woo. Nenek terlihat sangat khawatir melihat keadaan Sang woo yang penuh dengan luka.
Nenek menyeka air mata Sang woo dan memberikannya sebuah surat. Surat tersebut berasal dari Seoul dan pengirimnya adalah Ibu Sang woo yang mengabarkan kalau dirinya akan datang menjemput Sang woo.
Malam harinya, Sang woo mengajari Nenek menulis. “lihat baik-baik…. Ini berarti aku sakit. Kalau ini “aku merindukanmu” coba tulis lagi” ucap Sang woo pada Neneknya. Nenek melakukan apa yang Sang woo ucapkan. “tidak bisakah kau menulisnya dengan benar?” tanya Sang woo, namun Nenek hanya menggaruk-garuk kepalanya. “kau tidak bisa bicara atau menggunakan telepon, jadi kau harus menulis surat kepadaku” ucap Sang woo dan melihat hasil tulisan Neneknya. (kasihan Nenek sama sekali tidak bisa menulis).
“Nenek, jika kau sakit kirimkan saja surat kosong. Aku pasti tahu kalau itu kau. Aku akan datang secepatnya, setuju?” ucap Sang woo. Nenek mengangguk. Sang woo terdiam sesaat dan mulai menangis. Nenek pun mulai menangis jika mengingat kalau dirinya akan segera berpisah dengan Sang woo. Walaupun Sang woo anak yang nakal, tetapi bagi Nenek, Sang woo adalah cucu yang sangat disayanginya dan mampu menghiburnya disaat sepi menghinggapi dirinya.
Disaat Nenek tertidur, Sang woo diam-diam memasukkan benang ke dalam jarum sebanyak yang dia bisa. Sang woo menyadari kalau mata Nenek sudah tidak bisa digunakan untuk melihat benda yang sangat kecil. Sang woo mematikan lampu dan memutuskan untuk tidur.
Beberapa menit kemudian Sang woo menyalakannya lagi dan mengambil kartu bergambar dan crayonnya.
Keesokan harinya.
Nenek mengantar Sang woo dan Ibunya menuju pemberhentian Bus. “Ibu, kau makan vitamin yang kuberikan padamu kan? Makan dengan baik dan jaga diri baik-baik. Aku akan sering datang mengunjungimu sebelum tahun baru” pesan Ibu Sang woo. Nenek hanya mengangguk dan melihat ke arah Sang woo yang hanya terdiam. “jangan lupa memakai pakaian hangat. Ibu, lain kali aku akan membawakanmu beberapa pakaian” tambah Ibu Sang woo.
“kau tidak mempunyai sesuatu untuk dikatakan kepada Nenek?” tanya Ibu Sang woo pada Sang woo. Sang woo tetap terdiam “Ibu, aku kira dia malu, terima kasih sudah merawatnya” ucap Ibu Sang woo.
“ah, Busnya datang. Ibu, aku pergi, tolong kau lakukan apa yang sudah kukatakan tadi. Jangan kuatir dan makan dengan baik” ucap Ibu Sang woo lagi. Bus perlahan-lahan berhenti di depan mereka. Ibu Sang woo mengangkat tasnya dan masuk ke dalam Bus. Sang woo terdiam sesaat di depan pintu Bus dan kemudian naik ke dalam Bus.
Tidak lama kemudian, Sang woo kembali turun dan mengambil kartu bergambarnya dari saku celana. Sang woo memberikan kepada Nenek dan buru-buru naik ke dalam Bus. Nenek mulai mengetuk jendela Bus agar Sang woo mendekat ke jendela. Sang woo hanya duduk terdiam dan sama sekali tidak mengindahkan panggilan Neneknya.
Bus perlahan-lahan berjalan. Sang woo sontak terkejut dan berlari ke belakang Bus. Sang woo melihat Neneknya dari jendela belakang Bus dan mulai menangis. Sang woo kemudian mengusap dadanya seperti yang biasa dilakukan Neneknya.
Lambaian tangan Sang woo menandakan perpisahan Sang woo dengan Nenek.
Nenek berjalan kembali ke rumah. Kali ini, Nenek hanya sendirian dan sama sekali tidak ada Sang woo yang biasa menemaninya.
Nenek melihat kartu bergambar Sang woo yang dibaliknya sudah digambari Sang woo dengan gambar kartun yang menyerupai Neneknya.
Nenek mulai duduk di salah satu sudut pasar dan mulai menjajakan hasil kebunnya yaitu Labu dan Sabuk kelapa. Sang woo dari kejauhan melihat Neneknya dan tiba-tiba muncul rasa iba dari dalam hatinya.
Nenek kemudian menyuruh Sang woo memilih salah satu sepatu yang Sang woo suka. Sang woo hanya terdiam ketika penjual mulai berkomentar tentang sepatu baru yang sekarang sedang Sang woo pakai. “sepatu ini sangat cocok denganmu”.
Nenek kemudian mengajak Sang woo makan Jajangmyeon (mie hitam). Sang woo mulai makan dengan lahap dan tiba-tiba berhenti dan melihat ke arah Neneknya. Sang woo merasa kasihan dengan Nenek yang hanya minum segelas air putih sementara dirinya malah asyik makan Jajangmyeon. Nenek mengerti dengan arti tatapan Sang woo dan meyuruh Sang woo untuk kembali makan dengan lambaian tangannya.
“2.300 Won” ucap pemilik tempat makan pada Nenek. Nenek mengeluarkan uang hasil penjualan labu dan sabuk kelapa dan mulai menghitungnya. Sang woo kembali merasa iba dengan Nenek ketika melihat sisa uang nenek yang hanya recehan.
Sang woo dan Nenek berjalan menuju tempat pangkalan Bus. Mereka tanpa sengaja melewati sebuah toko elektronik dan kebetulan toko tersebut menjual segala jenis baterei. Sang woo berhenti sesaat dan memandangi tulisan yang tertera di jendela “semua jenis baterei tersedia disini”. Nenek pun ikut berhenti dan memandangi Sang woo. Sang woo menggeleng dan kembali berjalan.
Nenek mulai mengecek Bus yang akan dinaikinya bersama Sang woo kembali ke desa. “kenapa kau turun?apakah Busnya salah?” tanya Sang woo pada Neneknya. Nenek mulai mengecek Bus ke dua dan kembali turun dari Bus tersebut “yang ini salah juga?” tanya Sang woo lagi, Nenek mengangguk. Nenek mengecek Bus ketiga dan kondektur mengatakan kalau ini adalah Bus yang benar. Nenek kemudian memanggil Sang woo untuk naik.
“tunggu, perempuan tua di seberang jalan bertanya tentangmu. Lututnya terluka, makanya dia tidak bisa menemuimu, kenapa kau tidak melihatnya?” ucap Kondektur pada Nenek sebelum duduk. Nenek mengurungkan niatnya untuk duduk dan ingin menemui sahabatnya.
Nenek kemudian memanggil Sang woo namun Sang woo sama sekali tidak memperdulikan Nenek “aku katakan tidak, tinggalkan aku sendiri” tolak Sang woo. Rupanya Sang woo sedang asyik melihat Hae yeon yang sedang mengobrol dengan temannya.
Wajah Sang woo langsung cemberut begitu Hae yeon pergi. Sang woo kemudian melihat ke arah Nenek yang masih berdiri disampingnya. “hei bocah, Nenek bertanya apa yang ingin kau makan?” tanya Kondektur pada Sang woo (wah, hebat Kondekturnya bisa mengerti apa yang Nenek ingin katakan pada Sang woo). Sang woo melihat seorang anak kecil yang sedang asyik makan Pie coklat. “Pie coklat” jawab Sang woo pada Nenek dan menunjuk anak tersebut.
Nenek memungut bungkus coklat Pie yang tergeletak di lantai Bus dan bergegas menuju rumah sahabatnya yang kebetulan berjualan bahan-bahan kelontongan.
“hai, silahkan duduk. Aku seharian seorang diri. Lututku?seperti biasa. Aku dengar cucu laki-lakimu datang kesini, kau seharusnya membawanya kesini” ucap sahabat Nenek. Nenek kemudian memberikan bungkus coklat Pie kepada sahabatnya “Pie coklat?dua? aku akan memberimu lebih” ucap sahabatnya. Nenek hendak memberikan uang kepada sahabatnya namun sahabatnya menolak uang pemberian Nenek. Nenek akhirnya memberikan sabuk kelapa miliknya yang masih tersisa sebagai ucapan terima kasih.
Sementara itu di Bus, muka Sang woo kembali cemberut. Bukan karena ingin makan Pie coklat tetapi karena Cheol yee (mungkin menurut Sang woo, Cheol yee adalah saingannya) duduk disampingnya dan menghalanginya untuk berbicara dengan Hae yeon.
Sang woo melihat Nenek datang dan hendak naik ke Bus. Sang woo dengan cepat berlari menuju pintu Bus dan mengatakan kepada Neneknya kalau dia ingin duduk bersama Cheol yee dan Nenek duduk sendirian. Sang woo kemudian mengambil Pie coklat dari tangan Nenek dan kembali duduk di kursinya.
Nenek mengetuk jendela Bus dan meminta kepada Cheol yee untuk menjaga Sang woo hingga sampai di desa. “aku mengerti Nek” jawab Cheol yee. Nenek kemudian memberikan barang bawaannya kepada Sang woo melalui jendela Bus agar Sang woo membawanya, namun Sang woo menolak. Bus perlahan-lahan mulai berjalan dan meninggalkan Nenek sendirian. (hiks,hiks,hiks….. Sang woo dirimu tega sekali).
“Nenek Sang woo tidak ikut naik?” tanya Hae yeon pada Cheol yee “dia bilang dia akan pulang nanti, dia punya pekerjaan untuk dilakukan” jawab Cheol yee “kau bisa mendengarnya?” tanya Hae yeon lagi “tidak, aku hanya tahu saja” jawab Cheol yee. Sementara itu Sang woo yang duduk disamping mereka mulai menggeruru sendirian dan memutuskan untuk menghitung jumlah Pie coklat yang dibelikan Neneknya.
Sang woo duduk sendirian menunggu Nenek di perhentian Bus. Sang woo melihat sebuah Bus mulai mendekat. Sang woo dengan cepat berdiri dan mengira jika Nenek sudah datang. Harapannya sia-sia saat melihat yang turun dari Bus bukan Nenek melainkan warga desa lain dengan seorang anak kecil. Sang woo memutuskan pulang ke rumah dan mulai bermain batu, gunting, kertas.
Sang woo merasa bosan tanpa kehadiran Nenek. Sang woo tersenyum dan mengeluarkan satu-satunya coklat Pie yang tersisa dari dalam kantongnya “aku akan menyimpannya besok” gumam Sang woo. Rasa bosan kembali menghinggapinya. Bosan di rumah, Sang woo memutuskan kembali ke tempat pemberhentian Bus dan menunggu Nenek.
Senyum Sang woo terkembang saat melihat sebuah Bus kembali mendekat. Pintu Bus terbuka, namun yang turun adalah seorang kakek tua dan sama sekali tidak ada Nenek Sang woo. Sang woo merasa sedih.
Bus perlahan-lahan mulai memutar balik dan menuju kembali ke Kota. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang wanita tua yang berjalan perlahan-lahan dengan menggunakan tongkat. Sang woo dengan cepat berlari ke arahnya dan wanita tua tersebut tak lain adalah Nenek.
“apa yang membuatmu begitu lama?” tanya Sang woo sedih.
Nenek hanya mengusap dadanya. Sang woo merasa bersalah pada Nenek dan mengambil barang bawaan Nenek. Sang woo kemudian berjalan menuju rumah dan Nenek mengikuti Sang woo dibelakang.
Sang woo tersenyum dan berhenti sesaat. Muncul ide dari pikiran Sang woo. Sang woo mengeluarkan satu-satunya Pie coklat yang dia miliki dan menyelipkannya ke dalam kain barang bawaan Nenek.
Sang woo berjalan mondar mandir dengan Robot mainan di tangannya. Sang woo melihat permainan masak-masakan Hae yeon yang pernah dirusaknya dan mulai menggeser batu-batu yang berantakan dengan kakinya. Sang woo samar-samar mendengar suara Hae yeon yang sedang bernyanyi. Sang woo tersenyum senang karena akhirnya keinginannya untuk melihat Hye yeon tercapai. Namun senyum yang terkembang di wajah Sang woo memudar saat melihat Cheol yee yang ternyata berjalan bersama Hae yeon.
“dah, Cheol yee” ucap Hae yeon berpamitan. Cheol yee melanjutkan kembali berjalan menaiki bukit dengan setumpuk kayu bakar di punggungnya. Sang woo yang melihatnya merasa kesal, tiba-tiba sebuah ide brilliant melintas di benaknya. Sang woo meletakkan robot mainannya di tanah dan tersenyum licik.
“lari cepat, Sapi gila datang, palli, palli. Cepat, dia mulai menuruni bukit, aku serius” teriak Sang woo dan melompat kegirangan. Sang woo tertawa senang melihat Cheol yee berlarian. Sang woo berhasil membohongi Cheol yee dengan mengatakan kalau seekor sapi gila menuju ke arahnya.
“itu Sapi gila” gumam Sang woo sedih saat mendengar suara Sapi gila. “benar-benar mengejarnya” tambah Sang woo. Usahanya untuk mengerjai Sang woo berantakan. Dari kejauhan, Cheol yee melambaikan tangan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang woo karena sudah memberitahukannya akan kehadiran Sapi gila.
Sang woo melihat robotnya yang tergeletak di tanah dan hal itu membuatnya semakin sedih. Robot mainan sang woo rusak karena terinjak olehnya saat melompat kegirangan.
Malam harinya
Angin bertiup sangat kencang. Sang woo berteriak memanggil Neneknya agar berjalan lebih cepat. “Palli, palli, aku katakan cepat!”. Sang woo kemudian masuk ke sebuah tempat sambil memegang celananya. Sang woo bernafas lega saat semua makanan yang sudah diolah menjadi feces berhasil keluar dengan aman tanpa mengotori celananya.
“apa kau masih disana?” teriak Sang woo dari dalam kamar mandi yang terbuat dari kayu “dimana kau?” tanya Sang woo lagi “aku katakan kau dimana?” tanya Sang woo untuk ketiga kalinya. Nenek melempar beberapa batu agar Sang woo tahu kalau dirinya masih menunggu Sang woo yang sedang BAB. “kau dimana?aku tidak melihatmu” teriak Sang woo. Nenek maju hingga ke depan kamar mandi agar Sang woo bisa melihatnya dan tidak merasa takut. “maju sedikit lagi” ucap Sang woo “yeah, tetap disana” tambah Sang woo. Nenek mengangguk. Angin bertiup semakin kencang dan mulai menghembuskan dirinya ke tubuh renta Nenek. Nenek hanya terduduk dan tidak berniat beranjak sedikitpun demi menunggui sang woo, satu-satunya cucu yang dimilikinya.
Keesokan harinya
Cheol yee berjalan terseok-seok dengan tumpukan kayu di punggungnya. Dari kejauhan, Sang woo yang sedang duduk melamun tersadar saat melihat Cheol yee. Sang woo melihat ke bukit, jalan yang sudah dilalui Cheol yee dan tersenyum ketika memastikan kalau Sapi gila tidak ada.
“Sapi gila datang!Lari! Lari lebih cepat, cepat” teriak Sang woo. Cheol yee sontak terkejut dan mulai berlari. “lebih cepat lagi, sapi gila itu berada dibelakangmu”. Cheol yee berlari semakin cepat hingga terjatuh. Cheol yee berbalik kebelakang dan menyadari kalau Sapi gila sama sekali tidak ada dan Sang woo telah membohonginya. Sang woo yang menyadari kalau kebohongannya sudah diketahui Cheol yee dengan cepat berlari tanpa rasa bersalah sama sekali.
Sang woo berjalan tanpa arah dan tiba-tiba berhenti saat melihat Cheol yee yang berdiri di hadapannya. Sang woo tertunduk lesu dan merasa takut kalau Cheol yee akan memarahinya.
Sementara itu anjing kesayangan Cheol yee terus menerus menggonggong ke arah Sang woo. Sang woo mengusap dadanya seperti yang biasa dilakukan Neneknya dan kemudian berlari.
Sang woo mulai ngos-ngosan karena sudah berlari terlalu jauh. Tiba-tiba seseorang memanggil nama sang woo. “Sang woo-ah, Sang woo-ah” panggil Hae yeon “Sang woo, aku mencarimu kemana-mana, aku sudah bertanya pada Cheol yee dan bahkan datang ke rumahmu. Aku ingin mengajakmu bermain” tambah Hae yeon.
Malam harinya Sang woo senyum-senyum sendiri. Dirinya bahkan menutup wajahnya dengan selimut karena merasa senang dan malu bisa bermain berdua saja dengan Hae yeon. (hehehe, Sang woo, ada-ada aja dech tingkahnya,…. Dewi cendrillon).
Keesokan harinya, Sang woo bersiul-siul senang. Sang woo mulai memasukkan satu persatu mainannya ke dalam kantong plastik. Tangannya terhenti saat menggenggam kartu bergambar kesayangannya.
Pandangannya kemudian beralih ke robot mainannya yang sudah penuh tambalan. Sang woo kemudian menyelipkan kartu bergambarnya dibawah kaki dan kembali bersiul sambil memasukkan mainan yang lainnya. (hehehe, sesuka-sukanya Sang woo pada Hae yeon, dia tidak ingin memberikan mainan robot dan kartu bergambarnya pada Hae yeon).
Sang woo kemudian bercermin dan merasa kalau rambutnya sudah terlalu panjang. Sang woo bingung ingin membuat model seperti apa rambutnya. Bahkan dengan menggunakan air untuk mengaturnya pun, Sang woo merasa aneh. “tidak adakah minyak rambut?” tanya Sang woo pada Nenek.
Sang woo tertawa senang melihat pantulan sinar matahari dari kaca mengenai wajah Neneknya. Sang woo bersiul riang saat Nenek memakaikan kain yang biasanya digunakan untuk membungkus barang bawaan atau hasil kebun ke tubuhnya. Sang woo kemudian mengatakan kepada Nenek untuk memotong rambutnya sedikit saja.
Nenek membangunkan Sang woo yang tertidur (wah, saking asiknya rambutnya dipotong, Sang woo sampai tertidur). “sudah selesai?” tanya Sang woo. “apa ini?ini mengerikan!” rengek sang woo.
Nenek memperagakan apa yang dikatakan Sang woo tadi “aku sudah mengatakan agar memotongnya sedikit saja, bukan seperti ini. Aku tidak bisa bertemu dengan Hae yeon seperti ini” tambah Sang woo dan kemudian pergi. (hehehe, ketawa liat adegan ini. Sang woo mengatakan kepada Nenek untuk memotongnya sedikit saja, tetapi Nenek memotongnya hingga tersisa sedikit).
Sang woo dengan wajah cemberutnya mulai mengecek mainan yang akan diberikannya kepada Hae yeon. Nenek kemudian memberikan game Sang woo “batereinya habis” tolak Sang woo. Nenek kemudian membungkus game Sang woo dengan kertas kado. “bodoh” gumam Sang woo yang merasa tindakan Neneknya tidak masuk akal.
Sang woo melihat dirinya di cermin dengan rambut hasil guntingan Neneknya yang salah. Sang woo kemudian melipat kain Neneknya dan memakainya di kepala sebagai penutup.
Nenek membangunkan Sang woo yang sedang tertidur. Nenek hendak mengajak Sang woo ke rumah sahabatnya yang tinggal tidak jauh dari rumah Nenek dan sahabat Nenek ini, dulu pernah menolong dan mengantarkan Sang woo saat dirinya tersesat. “Hae yeon akan datang” tolak Sang woo dan kembali tidur. Sang woo tiba-tiba terbangun saat menyadari kain Neneknya yang semula berada di kepalanya, dipakai Nenek untuk membungkus sesuatu. Mau tidak mau sang woo terpaksa ikut dengan Nenek daripada harus bertemu dengan Hae yeon dengan wajah seperti itu.
“kau tidak perlu datang” ucap Kakek. Nenek kemudian memperkenalkan Sang woo. “aku pernah melihatnya sebelumnya. Aku baik-baik saja, aku sudah cukup tua untuk mati. Aku hanya membuat orang-orang disekitarku menderita” ucap Kakek kemudian terbatuk-batuk. Nenek kemudian membuka bungkusan yang sedaritadi dibawanya. “apa itu?” tanya Kakek. Nenek memegang seluruh tubuhnya “itu vitamin untuk orang lanjut usia” ucap Sang woo berusaha menjelaskan maksud Neneknya “aku tidak memerlukannya, kau lebih membutuhkannya daripada aku” tolak Kakek. Nenek kemudian memperagakan sesuatu lagi dan Sang woo sekali lagi membantu menjelaskan “kami tidak memiliki sesuatu di rumah, hanya ini yang bisa kuberikan untukmu”. (Nenek baik banget ya, vitamin yang diberikan Ibu Sang woo untuk Nenek malah diberikan kepada Sahabatnya).
Sang woo bersiap-siap pergi menemui Hae Yeon. Di kepalanya sudah terpasang kain Neneknya (hehehe, Sang woo mengikatnya seperti seorang pendekar saja). Nenek datang dan menyuruh Sang woo untuk memakai sepatu barunya, namun Sang woo menolaknya dan mengatakan kalau sepatu itu jelek. Sang woo merasa nyaman memakai sepatu lamanya.
Sang woo berhenti sesaat dan kemudian menyeka keringatnya. Sang woo tiba-tiba terkejut ketika melihat gamenya yang sudah terbungkus kado diselipkan Neneknya di dalam kantong plastik. “kenapa dia menaruhnya disini?” gumam Sang woo dan memasukkan game tersebut ke kantong celananya.
Sang woo tersenyum senang dengan Boneka Hae yeon yang sekarang berada di genggamannya. Ternyata semua mainan Sang woo ditukar dengan sebuah Boneka milik Hae yeon. Sang woo kemudian melepaskan sepatunya dan mulai mengangin-anginkan kakinya yang kepanasan karena terlalu lama berjalan.
Sang woo tersenyum melihat jalanan menurun di depannya. Muncul sebuah ide hebat di benaknya. Dengan menggunakan kereta besinya Sang woo mulai meluncur. Namun naas, Sang woo tidak dapat menghentikan kereta besinya. Alhasil, Sang woo terluka, kereta besinya jatuh ke dalam air dan salah satu sepatu Sang woo terbang entah kemana.
Sang woo mulai berjalan terseok-seok. Seluruh badannya terasa sakit. Samar-samar Sang woo mendengar suara orang yang berteriak kepadanya menyuruhnya untuk segera berlari. “lari!lihatlah! ada sapi gila”. Suara itu berasal dari Cheol yee yang mencoba memperingatkannya akan kehadiran sapi gila. Sang woo berbalik kebelakang dan tidak melihat apa-apa. Sang woo merasa kalau Cheol yee sengaja mengatakan seperti itu karena sakit hati pernah dibohongi Sang woo. “larilah cepat, dia dibelakangmu” teriak Cheol yee lagi namun Sang woo tidak menggubrisnya.
Sang woo kembali berjalan dan terkejut saat melihat seekor sapi gila benar-benar menuju ke arahnya. Sang woo mempercepat langkahnya dan berusaha untuk berlari. Sayang, salah satu sepatu Sang woo tiba-tiba terlepas dan Sang woo seketika terjatuh. Sang woo merunduk dan menutupi kepalanya saking ketakutan. Tiba-tiba Cheol yee muncul dan mencoba menghalau sapi gila “cepatlah bersembunyi” teriak Cheol yee.
Cheol yee berhasil mengusir sapi tersebut dan buru-buru melihat keadaan Sang woo. Sang woo terduduk di tanah dengan ke dua lutut yang terus mengeluarkan darah. “maafkan aku sebelumnya” ucap Sang woo sedih. Cheol yee tersenyum “lalu kau harus minta maaf dua kali”. Cheol yee kemudian pergi dan Sang woo hanya bisa menangis menyesali semua kesalahannya.
Sang woo kembali ke rumah. Di perjalanan Sang woo berhenti sesaat dan menyadari gamenya yang terbungkus kertas kado masih belum dibukanya. Sang woo terkejut saat mendapati beberapa lembar uang kertas yang diselipkan Neneknya bersamaan dengan gamenya. Sang woo kembali menangis dan menyadari kalau sudah banyak hal jahat yang dilakukannya kepada Nenek yang sangat menyayanginya.
Sang woo berjalan kembali dan dari kejauhan terlihat Nenek sudah berdiri menunggunya. Tangis Sang woo semakin keras. Sang woo mempercepat langkahnya begitupun dengan Nenek yang berjalan menuju Sang woo. Nenek terlihat sangat khawatir melihat keadaan Sang woo yang penuh dengan luka.
Nenek menyeka air mata Sang woo dan memberikannya sebuah surat. Surat tersebut berasal dari Seoul dan pengirimnya adalah Ibu Sang woo yang mengabarkan kalau dirinya akan datang menjemput Sang woo.
Malam harinya, Sang woo mengajari Nenek menulis. “lihat baik-baik…. Ini berarti aku sakit. Kalau ini “aku merindukanmu” coba tulis lagi” ucap Sang woo pada Neneknya. Nenek melakukan apa yang Sang woo ucapkan. “tidak bisakah kau menulisnya dengan benar?” tanya Sang woo, namun Nenek hanya menggaruk-garuk kepalanya. “kau tidak bisa bicara atau menggunakan telepon, jadi kau harus menulis surat kepadaku” ucap Sang woo dan melihat hasil tulisan Neneknya. (kasihan Nenek sama sekali tidak bisa menulis).
“Nenek, jika kau sakit kirimkan saja surat kosong. Aku pasti tahu kalau itu kau. Aku akan datang secepatnya, setuju?” ucap Sang woo. Nenek mengangguk. Sang woo terdiam sesaat dan mulai menangis. Nenek pun mulai menangis jika mengingat kalau dirinya akan segera berpisah dengan Sang woo. Walaupun Sang woo anak yang nakal, tetapi bagi Nenek, Sang woo adalah cucu yang sangat disayanginya dan mampu menghiburnya disaat sepi menghinggapi dirinya.
Disaat Nenek tertidur, Sang woo diam-diam memasukkan benang ke dalam jarum sebanyak yang dia bisa. Sang woo menyadari kalau mata Nenek sudah tidak bisa digunakan untuk melihat benda yang sangat kecil. Sang woo mematikan lampu dan memutuskan untuk tidur.
Beberapa menit kemudian Sang woo menyalakannya lagi dan mengambil kartu bergambar dan crayonnya.
Keesokan harinya.
Nenek mengantar Sang woo dan Ibunya menuju pemberhentian Bus. “Ibu, kau makan vitamin yang kuberikan padamu kan? Makan dengan baik dan jaga diri baik-baik. Aku akan sering datang mengunjungimu sebelum tahun baru” pesan Ibu Sang woo. Nenek hanya mengangguk dan melihat ke arah Sang woo yang hanya terdiam. “jangan lupa memakai pakaian hangat. Ibu, lain kali aku akan membawakanmu beberapa pakaian” tambah Ibu Sang woo.
“kau tidak mempunyai sesuatu untuk dikatakan kepada Nenek?” tanya Ibu Sang woo pada Sang woo. Sang woo tetap terdiam “Ibu, aku kira dia malu, terima kasih sudah merawatnya” ucap Ibu Sang woo.
“ah, Busnya datang. Ibu, aku pergi, tolong kau lakukan apa yang sudah kukatakan tadi. Jangan kuatir dan makan dengan baik” ucap Ibu Sang woo lagi. Bus perlahan-lahan berhenti di depan mereka. Ibu Sang woo mengangkat tasnya dan masuk ke dalam Bus. Sang woo terdiam sesaat di depan pintu Bus dan kemudian naik ke dalam Bus.
Tidak lama kemudian, Sang woo kembali turun dan mengambil kartu bergambarnya dari saku celana. Sang woo memberikan kepada Nenek dan buru-buru naik ke dalam Bus. Nenek mulai mengetuk jendela Bus agar Sang woo mendekat ke jendela. Sang woo hanya duduk terdiam dan sama sekali tidak mengindahkan panggilan Neneknya.
Bus perlahan-lahan berjalan. Sang woo sontak terkejut dan berlari ke belakang Bus. Sang woo melihat Neneknya dari jendela belakang Bus dan mulai menangis. Sang woo kemudian mengusap dadanya seperti yang biasa dilakukan Neneknya.
Lambaian tangan Sang woo menandakan perpisahan Sang woo dengan Nenek.
Nenek berjalan kembali ke rumah. Kali ini, Nenek hanya sendirian dan sama sekali tidak ada Sang woo yang biasa menemaninya.
Nenek melihat kartu bergambar Sang woo yang dibaliknya sudah digambari Sang woo dengan gambar kartun yang menyerupai Neneknya.
The End
NOTE :
Sedih banget ceritanya....
Jadi ingat dengan Nenek aku....
Satu Pesan yang bisa aku ambil dari Movie yang satu ini Chingu, sayangilah orang yang berada disekitarmu sebelum kamu menyesal dan tidak ada waktu untuk menyadari kesalahanmu itu...
kamsahamnida sudah membaca sinopsis ini....
No comments:
Post a Comment