Director Joe Johnston Writers Christopher Markus, Stephen McFeely
Cast Chris Evans, Hayley Atwell, Hugo Weaving
Distributor Paramount Pictures Genre Action, Adventure, Sci-Fi, 3D
Banyak alasan yang membuat kita merasa sayang untuk tidak menonton film-film yang hadir di tahun 2011 ini. Selain banyaknya sekuel dari film-film terdahulu masing-masing yang sangat dinanti, atau mungkin semakin menggebyarnya balutan 3D dalam pemasaran film, alasan terbesar adalah melimpahnya sajian summer ambisius yang diantaranya terselip beberapa film superhero adaptasi komik, diantaranya adalah Captain America: The First Avenger.
Ada yang menarik dari tahun 2011. Seperti yang saya katakan diatas, tahun ini dijadikan ajang “perkelahian” bagi banyak karakter berkekuatan super untuk memikat jutaan moviegoer yang kelihatannya tidak tahan lagi menunggu. Sebelum berbicara lebih jauh, entah ini pikiran saya pribadi atau mungkin ada juga yang merasa, kok sepertinya sebagian besar live-action dari Marvel punya hasil yang lebih bagus ya ketimbang punyanya DC Comics? Lihat saja banyaknya film-film Batman dan Superman yang cukup banyak dicerca. Ya meskipun begitu rasanya kebangetan kalau trilogy Batman versi Nolan dilupakan (sangat jelas ia memiliki ciri khas sendiri untuk memaksimalkan dan menaikkan pamor DC). Justru Marvel terbukti lebih konsisten dalam melahap habis-habis budget film untuk mengadaptasi tokoh-tokoh komiknya untuk selanjutnya diadaptasi ke dalam bentuk film. Dan so happy to say, hasilnya kebanyakan bagus. Well, bagaimana dengan yang satu ini?
Di tahun 1942 dimana Perang Dunia II sedang berlangsung, Amerika Serikat sedang gencar-gencarnya melawan Nazi. Memanfaatkan segala yang mampu dilakukan, AS sendiri terus-terusan merekrut pemuda di negaranya untuk dijadikan tentara dan bergabung dengan pasukan militer untuk dikirim ke medan perang di Eropa. Steve Rogers (Chris Evans) hanyalah pria kurus kerempeng dengan tinggi tidak sampai 170 cm dan mengidap asma. Keadaan fisiknya yang lemah membuat dirinya sering di-bully dan tergolong ‘kaum outcast’. Tidak peduli akan kondisinya tersebut, ia punya niat yang sangat besar untuk bergabung dengan kemiliteran. Berkali-kali mencoba, dirinya selalu ditolak dikarenakan tidak memenuhi syarat, bahkan Rogers yang memalsukan identitasnya itu tetap saja ketahuan.
Di sela-sela kunjungan ke future technologies exhibiton bersama sahabatnya, Bucky Barnes (Sebastian Stan), sikap ngotot Rogers untuk masuk kemiliteran muncul kembali dan akhirnya dipertemukan dengan ilmuwan Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci) yang membantunya untuk masuk ke dalam pelatihan kemiliteran. Di pelatihan ia bertemu dengan seorang ‘wonder woman’, Peggy Carter (Hayley Atwell), yang bersikap sangat tegas dan keras. Melihat niatnya yang sangat besar, Rogers diberi kesempatan lebih jauh untuk dijadikan objek dari misi rahasia “Project Rebirth” dimana dirinya disuntik serum khusus yang pada akhirnya merubah bentuk dirinya menjadi lebih tinggi, kekar, dan 4x lebih lincah dari manusia biasa dalam kinerja fisik maupun otak. Dengan dirinya yang baru, Rogers kini berubah menjadi “Captain America”, pahlawan kuat yang berjuang menyelamatkan negerinya dari pemimpin organisasi rahasia NAZI, Hydra, yaitu Johann Schmidt / Red Skull (Hugo Weaving).
Seperti yang saya katakan di awal artikel tadi, sebagian besar adaptasi live-action dari DC Comics terbukti tidak memuaskan. Lihat saja dari Superman versi jadul yang for me personally gak tertarik, dan untung diperbaiki sedikit lewat Superman Returns. Ada juga Batman and Robins yang oh-my-god sampah banget. Kegagalan dalam penggarapan yang sangat memperihatinkan tersebut coba diperbaiki oleh Nolan dengan menunjukkan bahwa prospek film yang dimiliki DC Comics bisa jadi berhasil kalau ditangani oleh tangan yang betul. Jujur saya sendiri gak pernah suka sama Tim Burton yang kayaknya makin lama makin overstyle dalam membuat karya-karyanya. Ya namanya juga udah style sendiri ya. Kembali ke Marvel, publisher komik yang satu ini beruntung memiliki jajaran film live-action yang sebagian besar bias dibilang baik dan memenuhi standar. Lihat saja mulai dari trilogy Spiderman yang terlihat seperti pintu gerbang dari kejayaan Marvel ke depannya.
But for me personally, X-Men adalah film superhero terbaik. Diluar menurunnya kualitas di The Last Stand, makin parah di spin-off Wolverine, dan untungnya diperbaiki bahkan sangat istimewa dalam prekuel First Class. Nah, melanjutkan kesuksesannya tersebut, Marvel memperkenalkan sebuah Marvel Cinematic Universe. Apa itu? Saya singkat jadi MCU, ini adalah superhero-superhero Marvel yang dishare oleh Marvel Studios dan nantinya akan disatukan ke dalam proyek mahakarya Marvel, yaitu The Avengers. Sebelum dipersatukan, satu-satu dibuat dulu spin-off nya. Mulai dari Iron Man dan Iron Man 2 (paling bagus dibandingkan spin-off MCU lainnya) arahan Jon Favreau dengan bintang Robert Downey Jr.. Selain itu ada The Incredible Hulk diikuti Thor dan Captain America di tahun yang sama. Lima superhero ini bisa ditonton dalam satu film, yaitu salah satu proyek paling ambisius tahun depan, The Avengers. Tidak hanya itu, beberapa side-kick atau tokoh pembantu dari masing-masing film juga akan muncul, sebut saja Black Widow dan Pepper Potts sampai si archer yang tidak memiliki spin-off sendiri, Hawkeye. Mereka semua dipertemukan oleh ketua agen rahasia S.H.I.E.L.D, Nick Furry.
Lalu bagaimana dengan Captain America: The First Avenger? Jujur saya termasuk orang yang puas dengan film ini. Selaku sutradara, Joe Johnston berhasil memvisualisasikan karakter Steve Rogers ini. Captain America memiliki premis sederhana yang sangat teramat umum, yaitu from zero to hero. Tidak hanya Rogers yang pernah mengalami nasib tersebut, Spiderman pun terkenal akan sejarah awalnya yang hanya seorang pemuda nerd berkacamata dan akhirnya berubah menjadi kuat berkat sengatan laba-laba. Premis simple itu dijabarkan dengan kuat namun dengan penekanan sederhana dan tidak melupakan unsure komikal dan fun itu sendiri. Dari awal saya sudah bersemangat mengikuti dan sangat enjoy walaupun sekitar 40 menit pertama cerita berkutat sebatas masa-masa menderita si Rogers yang masih bertubuh kerempeng. Tapi itu bukanlah masalah. Agak risih mendengar kritikkan banyak orang yang mempersalahkan durasi film ini yang katanya overlength. Hello, it is only ten minutes different to Thor. Sangatkah krusial untuk dipermasalahkan? Bahkan bagi saya Captain America: The First Avenger jauh lebih baik dibanding Thor yang terlalu berpaku pada myth dan aksi laga. Satu catatan penting adalah, di saat cerita merubah fokus menuju konflik utama dan action sequence, pendalaman karakter dan penekanan premis cerita tetap dilakukan secara konsisten. Lihat saja bagaimana karakter Steve Rogers tidak ada hentinya memperlihatkan sisi manusiawi bahkan sisi outcast nya yang terkadang konyol, tapi tetap membangun sisi heroic lewat aksi-aksinya. Premis cerita yang saya sebutkan tadi juga tetap ditekankan sepanjang film lewat dialog-dialog bagus yang bagi saya charming banget.
Kelemahan bisa dilihat dalam divisi acting. Diluar karakterisasi yang baik, penampilan acting para pemain didalamnya bisa dibilang biasa saja. Tidak buruk, hanya lemah. Chris Evans yang sebelumnya pernah menjadi superhero dalam Fantastic Four bermain cukup baik disini, jauh lebih dari karakter lainnya. Tidak istimewa, tapi bisa dibilang menarik. Beruntung dirinya diberikan porsi utama yang sangat maruk sehingga terasa menutup karakter lainnya. Walaupun begitu, rasanya aneh dan berlebihan kalau karakter lain dianggap gak penting. Saya suka dengan tokoh sahabat Rogers, si Bucky. Karakter ini cukup mewarnai cerita dengan beberapa humor selipan. Ada juga Peggy Carter yang melengkapi syarat film; ada cowo pasti ada cewe. Dua karakter pembantu ini juga cukup bermanfaat untuk mewarnai suasana cerita, terutama saat dramatis di pertengahan dan konklusi film. Agak disayngkan tokoh yang dimainkan Stanley Tucci begitu cepat dimatikan. Oh iya jangan lupakan si Stark yang surprisingly diberikan porsi cukup banyak. Sayangnya bagi saya si Red Skull lah yang tidak dimainkan sebagaimana seharusnya seorang villain. Like I said, banyak loh humor-humor disini. Mulai dari ‘masa kerempeng’ si Rogers, aksi panggung Sang Capt. America yang memalukan, saat Peggy melihat foto dirinya di liontin Rogers, sampai pertanyaan tanpa henti si Rogers mengenai “fondue” antara Peggy dan Stark. Inilah yang membedakan Captain America dari spin-off Avengers lain, yaitu dimaksimalisirnya sisi humor dan premis cerita tanpa mengganggu isi film itu sendiri.
Big applause saya berikan bagi kinerja sisi teknikal film. Mulai dari shot visual effect CGI untuk mencurangi bentuk badan Chris Evans hingga terlihat kerempeng. Banyak teknik dilakukan disini, mulai dari memakai body double dan nantinya ‘ditimpa’ wajah Evans sampai scene shot yang dilakukan dua kali. Cara ini mengingatkan saya akan Benjamin Button yang juga melakukan cara ini, dan sukses di Oscar. Hal lain yang dikerjakan dengan bagus adalah cinematography yang dikerjakan Shelly Johnson. Suka banget sama cinemato-nya yang impressive, jarang loh ada superhero film yang member perhatian lebih di sisi ini. Action sequences juga asik, gak kurang gak berlebihan. Agak bingung loh banyak orang yang ngomong aksi nya kurang gimana gitu, padahal pas dan bagus. Development lainnya yang menarik perhatian saya adalah art direction yang memanjakkan mata. Feel ’40-an bener-bener dapet dan juga tone warna yang colourful dan pekat semakin buat saya betah nonton. Bahkan kalau boleh sedikit lebay, make-up sampai costume design juga oke loh. Sejauh film-film yang telah saya tonton tahun ini, Captain America punya prospek Oscar yang kuat di bagian teknik. Oh iya hampir lupa, duo Stephen McFeely dan Christopher Markus yang menangani screenplay terlihat lumayan terpengaruh oleh proyek mereka sebelumnya, yaitu tiga film Narnia yang lekat akan unsur film keluarganya.
Talking point...
Captain America is hugely and superbly fun ride to leads people into The Avengers trimming. Not as boring as people says.
Rate :
1 2 3.5 4 5
No comments:
Post a Comment